Oleh : Harumi Kartini Setiap insan diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dalam keadaan tidak sadar. Tangisan ‘mengaung-ngaung’ bukan karna ia sedih, atas orang tua yang ia dapat begitu adanya. Dengan penghasilan, rumah, budi pekerti, bahkan agama yang dimiliki orang tua, maka turunlah pada insan suci tadi. Jadi, keberadaan agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat kita memang berasal dari turunan keluarganya. Bersyukurlah bagi orang tua yang besar hatinya, mengerti akan jalan hidup yang akan membuat anaknya bahagia dengan pilihan agamanya sendiri. Walaupun yang terjadi nanti setelah pergejolakan hati memilih keyakinan ia akan kembali ke agama yang memang dianut orang tua sang insan. Hidup dalam dunia yang memiliki banyak perbedaan harus menyadari akan pentingnya toleransi. Toleransi dari hal-hal yang kecil ‘sepele’ hingga hal yang sangat fundamental, seperti kepercayaan. Temasuk kepercayaan akan tidak adanya Tuhan. Inilah hak yang sama-sama kita perjuangkan, hak bebas untuk memilih jalan hidup. Jika tidak, perang batin sampai perang besar antar agama tidak akan pernah berakhir. Sebagai muslim saya sendiri menyayangkan, atas otot yang terus beradu, tembakan demi tembakan senjata yang terus memotong nyawa sesama makluk Tuhan, dan ada lebih dari 1001 masalah yag akan terus kita hadapi jika tidak lahir rasa tolerasi sesama manusia. Sebagai penganut agama Islam, meyakini Allah SWT sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah adalah wajib. Sebagaimana redaksi syahadat menunjukkan sesungguhnya problem manusia bukanlah tidak bertuhan, atau tanpa tuhan, melainkan banyak tuhan. Kalimat ‘tidak ada tuhan selain Allah’ bermakna bahwa selama ini manusia sebenarnya sudah bertuhan, tetapi tuhannya palsu. Kemudian kata ‘tidak ada tuhan’ adalah negasi (peniadaan), dan ‘kecuali Allah’ adalah afirmasi (peneguhan) dan pengecualian. Karena problem manusia adalah banyak menuhankan tuhan-tuhan maka sejak memeluk agama monoteis, ia harus menolak semua tuhan yang selama ini ia yakini, melalui peniadaan itu. Dengan peniadaan tersebut manusia kemudian ‘membebaskan diri dari belenggu segenap kepercayaan,’[1] untuk kemudian beralih ke pengecualian yakni meneguhkan Tuhan sejati. [1] Meminjam penuturan Nurcholish Madjid dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, 2 Keberadaan Tuhan Hidup dengan banyak tuhan adalah hidup penuh keruwetan dan irrasional. Pada umumnya, masyarakat atau kaum yang menuhankan banyak tuhan akan hidup penuh pertentangan, kontradiktif, dan senantiasa menyalahi pendirian serta konsepsi yang mereka pegang dengan teguh. Akhirnya, mereka terjebak dalam kerumitan dan kesesatan. Gregory E. Ganssle, Ph.D. dalam tulisannya yang berjudul “Dapatkah Saudara Membuktikan Keberadaan Tuhan? (Mengapa ahli-ahli filsafat dan orang atheis menyukai pertanyaan ini)” menyatakan sejak Immanuel Kant pernah menulis tentang Critique of Pure Reason, telah menjadi hal yang umum bagi pemikiran orang bahwa untuk membuktikan keberadaan Tuhan adalah hal yang mustahil. Pada kenyataanya klaim ini telah diangkat pada tingkatan dogma di dalam budaya intelektual orang Amerika. Tidak ada kesimpulan filosofis yang menarik yang dapat dibuktikan tanpa keraguan. Jadi pendapat tentang keberadaan Tuhan tidak menghasilkan kepastian matematis yang justru dapat melemahkan masalah keberadaan Tuhan. Sederhananya hal tersebut menempatkan pertanyaan tentang keberadaan Tuhan dalam kategori yang sama seperti pertanyaan-pertanyaan lain, seperti keberadaan eksternalNya, kebebasan pemikiran dunia dan pertanyaan tentang bagaimana kita mengetahui orang lain mempunyai pikiran. Kontradiksi itu sama sekali tidak membebaskan, dan hanya menambah kompleksitas tanpa ujung. Dikatakan ‘tidak membebaskan,’ karena kontradiksi membutuhkan energi besar untuk menyelesaikan dan mendamaikan, sementara umur manusia tak sepanjang usia kontradiksi. Selalu berada dalam kontradiksi adalah pekerjaan sia-sia. Baik agama maupun akal sehat melarang manusia melakukan hal sia-sia. Pemikiran Islam akan Penyebutan Allah sebagai Tuhan Di sinilah syahadat kemudian muncul menjadi solusi: syahadat sajalah yang dapat membebaskan manusia. Dengan demikian, inti syahadat adalah ‘pembebasan’: bebas dari pembelengguan maupun penguasaan oleh apapun, untuk selanjutnya semata-mata berserah diri pada Tuhan, dan dikuasai Tuhan. Walaupun begitu, pengucapan syahadat memang bukanlah praktik keimanan, tetapi pengucapan. Hanya saja pengucapan syahadat dilandasi oleh proses panjang pemikiran, pemilihan, pemilahan, hingga berujung pada keyakinan. Tanpa proses seperti itu, pengucapan syahadat menjadi kosong. Menuju syahadat tidak bisa dilalui tanpa gerakan intelektual (Nanang Tahqiq). [1] Penjelasan menggunakan kata ‘bertuhan’ daripada ber-Allah. Bukankah agama Islam punya sebutan khas, yaitu Allah. Kata Allah lebih Qur’āni sebagaimana menjadi ajaran Nabi Muhammad. Apalagi kata Allah muncul dalam Qur’ān sebanyak 2.697 kali: apakah kata Tuhan sepadan dengan Allah, teristimewa sepadan dalam makna dan kualitas? Adakah sejarah lain dari kata Allah ini selain ia berasal dari Rasulullah? Pandangan di atas meneliti dan menyimpulkan asal-usul kata Allah sebagai bukan barang baru, bukan muncul dari Nabi Muhammad, tetapi jauh bahkan sebelum beliau lahir. Tradisi Arab sudah mengenal kata Allah sebelum Islam datang. Senada dengan pandangan di atas, ilmuwan Muslim menyatakan kata-kata Allah malah menjadi sebutan sehari-hari bagi masyarakat Arab pra-Islam. Tolerir akan satu payung persaudaraan antar manusia Istilah One Family Under God maksudnya untuk menciptakan perdamaian dunia, sebagai manusia maka kita harus mempunyai True Love untuk sesama. Fitrahnya manusia diciptakan dengan segala macam perbedaan entah dari warna kulit, ras, budaya maupun agama, namun dari perbedaan tersebut seyogyanya manusia dapat membangun True Love sehingga akan tercipta perdamaian yang hakiki. Demikian wacana One Family Under God yang banyak diusun oleh penggiat interfaith dialog seperti Global Peace Foundation (GPF[2]). Dialog antaragama bukanlah paradigma baru. Penyebutan New Interfaith Paradigm barangkali untuk menjadikan paradigma ini diadopsi oleh umat muslim sebagai cara pandang baru dalam beragama. Ada yang beraggapan bahwa asal muasal dialog antaragama, istilah ini menjadi rancangan dan semangat Barat untuk mempromosikan cara hidup sekuler kepada ke negara-negara lain. Padahal ini adalah bentuk toleransi. Bilapun ada itikat tidak baik, harusnya sebagai pribadi yangberiman kita harus mampu membentengi diri sebagaimana ajaran-ajaran agama yang kita jalankan. Tentu ada peran unik atas kepercayaan dan agama tertentu.Pemimpin agama memiliki peran signifikan untuk mendorong dan memberi bimbingan sikap hidup melayani dan membantu orang lain. Globalisasi yang diiringi dengan kemajuan informasi dan model komunikasi, kemudahan perjalanan, pertumbuhan bisnis, demikian pula terjadi peningkatan perpindahan manusia dari satu kota, negara atau bahkan benua yang berlainan yang memberi kemudahan untuk melakukan interaksi secara langsung dengan orang-orang yang berbeda bangsa, bahasa, dan budaya. Kini dari setiap diri kita sedang berinteraksi dengan dunia luas dengan ragam perbedaan yang ada. Sebagai akibatnya, kita saling mempengaruhi satu sama lain dengan intensitas yang lebih besar dibandingkan era-era sebelumnya. Berdasarkan perspektif individu, ini bisa mempunyai konsekuensi-konsekuensi positif atau negatif. Tak perlu dipertanyakan lagi, lebih mendesak dari yang pernah ada bahwa kita perlu mencari cara-cara untuk memecahkan perselisihan-perselisihan, membangun kepaduan dan hidup dengan harmonis dalam dunia kita yang sangat beragam. One Family Under God adalah sebuah visi yang sederhana, namun memiliki makna mendalam, mengakui bahwa semua orang ikut berkontribusi bagi pembentukan identitas yang esensial sama. Melampaui perbedaan-perbedaan ras, kebudayaan, etnik, suku atau agama, kita berkontribusi atas pembentukan kualitas yang esensial yang menegaskan kemanusiaan kita. Semua orang adalah makhluk spiritual yang berasal dari sumber yang sama, yakni Tuhan Pencipta. Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa kita adalah Satu Keluarga yang berasal dari Tuhan yang kita yakini (One Family Under God). Setiap insan dikaruniai oleh Pencipta dengan nilai yang sama dan mempunyai andil atas warisan keagamaan yang sama. Ini adalah suatu sumber yang asli dari martabat dan hak-hak asasi manusia. Karena semua orang mempunyai nilai intrinsik, maka kita bercita-cita untuk mewujudkan suatu komunitas global yang setara dan terhormat. Mengakui bahwa keluarga adalah landasan yang penting dalam upaya menemukan dan merasakan perdamaian. Keluarga adalah ibarat tanah tempat benih dari karakter seorang anak disemai dan bertumbuh. Cinta dalam keluarga memungkinkan anak-anak percaya, mencari nilai-nilai dalam hidupnya, mengakui hak-hak yang sama dari orang lain, dan mempraktikkan hubungan-hubungan antar sesama yang mempersiapkan mereka untuk menjadi warganegara yang bertanggungjawab dan produktif. Membangun suatu budaya melayani telah menjadi suatu metode yang efektif dalam pembangunan perdamaian. [1] Nanang Thaqiq, Mengenal Islam Jalan tengah, (Jakarta : Dian Rakyat, 2012) Hal 56 . [2] Global Peace Foundation adalah Non-Goverment Organitation (NGO), lembaga yang concern dibidang pertamaian dunia melalui toleransi beragama note : beberapa tulisan terakhir dikutip dari media yang mebahas mengenai GPF We're Care !!! Salam Interfaith :)
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorI still learn. Coz Knowladge makes world better Archives
June 2013
Categories |